Izin Ku Menulis

Izin Ku Menulis

Selasa, 5 Disember 2017

Saya kongsikan tulisan indah dari seorang ilmuan untuk bacaan semua. Salam emosi..


12 Rabi’ul Awwal 11H: Baginda Pergi Tidak Kembali


“Alangkah teringinnya di hatiku andai aku berpeluang bertemu dengan saudara-saudaraku,” ujar Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam.
Suasana hening di pinggiran perkuburan al-Baqi’. Merenung tempat semadi para mukminin yang telah pergi, dan pasti Baginda juga akan menyertai mereka, seperti kita semua.
“Bukankah kami ini juga saudara-saudaramu wahai utusan Allah?” para sahabat melontarkan soalan.
Persoalan.
Jika Nabi sallallaahu ‘alayhi wa sallam merindukan saudara-saudaranya, apakah ada saudara yang lain selain mereka, para sahabat?
“Kalian adalah sahabatku. Ada pun saudara-saudaraku yang kumaksudkan, mereka adalah orang-orang beriman yang belum ada!” jawab Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam.
Aneh.
Mencintai insan yang belum ada.
Seandainya seorang anak muda, termenung sedih di jendela angan-angan, runsing menanggung rindu kepada bakal isteri, yang orangnya belum ada… itu sudah menjadi satu kegilaan. Di luar kebiasaan. Perlukan rawatan.
Tetapi tidakkah Nabi sallallaahu ‘alayhi wa sallam juga mengungkapkan cinta yang di luar kebiasaan itu? Kematian yang pasti, menjadikan Baginda pasti bahawa peluang untuk bertemu dengan orang-orang beriman di masa-masa mendatang itu mustahil. Tidak kiralah bagaimana rupa mereka, di mana mereka berada, bagaimana keadaannya. Cukup sekadar mengetahui bahawa mereka itu beriman, malah beriman tanpa pernah bertemu dengannya, sudah menyuburkan rasa cinta.
Cinta luar biasa.
Cinta yang menjadikan Baginda sallallaahu ‘alayhi wa sallam itu berkorban segala-galanya. Cinta itulah yang melimpah dan terus melimpah, hingga kamu yang hidup 1000 tahun selepas pemergiannya, biar sesudut Ceruk Tok Kun sekali pun beradanya kamu, tiada rumah yang tidak diketuk cinta Nabi.
SAKIT RASULULLAH
“Kepalaku!” kata Aisyah.
Baginda Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam dan Aisyah radhiyallaahu ‘anha baru sahaja pulang daripada menziarahi perkuburan al-Baqi’ lewat malam tadi.
Kepala Aisyah sakit berdenyut-denyut.
Baginda menyedarinya.
“Bahkan kepalaku juga wahai Aisyah. Oh kepalaku!” kata Baginda sallallaahu ‘alayhi wa sallam.
Jika suami pening, tangan isteri yang memicit banyak mendatangkan rasa lega.
Jika isteri yang sakit, belaian seorang suami adalah penyembuh paling berharga.
Tetapi di malam itu kedua-duanya sakit. Kepala mereka berat.
“Janganlah engkau bersusah hati wahai Aisyah. Seandainya engkau mati sebelumku, nescaya aku akan menyempurnakan urusanmu. Aku akan mandikan dikau, kukafankan dirimu dan akan kudirikan solat buatmu serta engkau akan kukebumikan!!”, usik sang suami.
“Demi Allah, aku rasa kalau begitulah kisahnya pasti selepas itu engkau akan pulang ke rumahku dan berpesta gembira dengan isteri-isterimu yang masih hidup!” si isteri tersentak dengan gurauan sang suami.
Merajuk.
Nabi sallallaahu ‘alayhi wa sallam ketawa.
Dalam sakit yang luar biasa itu, baginda masih suami yang hangat dengan mawaddah. Sakitnya tidak menjadikan beliau keluh kesah. Sempat pula mengusik isteri yang tidak tentu rasa.
SENYUMAN PERPISAHAN
Tiga hari Baginda sallallaahu ‘alayhi wa sallam tidak mampu hadir berjamaah dengan kekasih-kekasih Baginda di masjid. Sakit kepala dan demam baginda semakin menjadi-jadi.
Subuh Isnin, 12 Rabi’ul Awwal tahun ke 11H,
Tatkala Abu Bakr radhiyallaahu ‘anhu membetulkan saf untuk mengimamkan solat, Baginda sallallaahu ‘alayhi wa sallam menyelak tabir yang memisahkan bilik Baginda dan ruang solat di Masjid.
“Sungguh takjub. Wajah Baginda seperti lembaran mushaf. Rasulullah sallallaahu alayhi wa sallam semasa memerhatikan kami, Baginda tersenyum dan ketawa kecil. Kami terlalu gembira melihat wajah itu. Abu Bakr sendiri berundur kerana menyangkakan Baginda mahu mengimamkan solat kami. Tetapi Rasulullah sallallaahu ‘alayhi wa sallam mengisyaratkan agar kami memula dan menyempurnakan solat,” kata Anas bin Malik, Radhiyallahu ‘anhu.
Wajah itu mengubat rindu mereka.
Tiga hari yang hilang warna dan sepi.
Tabir dilabuhkan dan kaum Muslimin meneruskan solat.
Senyuman Baginda itu penuh cinta dan kasih. Senyuman yang kaya dengan kepuasan melihat kaum Muslimin.
Sangka mereka itu senyum kesembuhan.
Rupa-rupanya ia adalah senyuman perpisahan…
Dhuha Isnin, 12 Rabi’ul Awwal tahun ke-11 Hijriah, Kekasih Allah itu pulang ke Teman Tingginya.
“Fee al-Rafeeq al-A’laa, Fee al-Rafeeq al-A’laa…” Baginda menghulurkan telunjuk kirinya ke langit.
“Kembali ke Teman yang Maha Tinggi, Kembali ke Teman yang Maha Tinggi” bibir itu lesu menuturkan sebuah pemergian.
Tangan itu rebah terkulai.
Basah dalam bejana air.
Seperti air mata sekalian umat yang ditinggalkannya.
Baginda wafat dalam jiwa yang penuh kasih sayang. Jiwa yang terselit di lubuk hatinya sebuah kerinduan.
Merindui saudara-saudaranya.
Kita.
SEBUAH PERTANYAAN CINTA
Justeru…
Bertepukkah tanganmu menyambut cinta yang agung itu?
Cintakah kamu kepada Pencinta yang agung itu?
Hati kecil itu tidak mampu berbohong.
Engkau tahu di mana cinta itu di hatimu….
 لا يُؤمِنُ أحدُكم حتى أكونَ أحبَّ إليهِ من والدِه وولدِه والناسِ أجمعينَ
“Tidak sempurna iman sesiapa di kalangan kamu sehinggalah diriku lebih dikasihinya berbanding kasih kepada orang tuanya dan anak bahkan sekalian manusia” [riwayat al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’ie dan Ibn Majah]

Selasa, 12 September 2017

Benarkah Benua Amerika asalnya Benua Islam?



Gambar Hiasan
 Benua Amerika Adalah Benua Muslim!
Benua Amerika yang kita kenal saat ini ternyata memiliki hubungan sejarah yang sangat kuat dengan Islam. Nampak sekali dari banyaknya jejak-jejak peninggalan yang tersisa dan masih bisa kita saksikan sampai detik ini, yang paling banyak adalah jejak tentang nama-nama wilayah yang sangat signifikan dengan Islam. Amerika sudah mengenal Islam, jauh sebelum para perompak dari Eropah datang. Islam sudah menjadi kultur budaya di Amerika hingga akhirnya punah dan dimurtadkan oleh para misionaris kristian asal Eropah.
Jika Anda mengunjungi Washington DC, datanglah ke Perpustakaan Kongres (Library of Congress). Lantas, mintalah dokumen perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku Cherokee, salah satu suku Indian, tahun 1787. Di sana akan ditemukan tanda tangan Ketua Suku Cherokee saat itu, bernama Abdel Khak dan Muhammad Ibnu Abdullah.
Isi perjanjian itu antara lain adalah hak suku Cherokee untuk melangsungkan keberadaannya dalam perdagangan, perkapalan, dan bentuk pemerintahan suku cherokee yang saat itu berdasarkan hukum Islam. Lebih lanjut, akan ditemukan kebiasaan berpakaian suku Cherokee yang menutup aurat, sedangkan kaum laki-lakinya memakai turban (serban) dan terusan hingga sebatas lutut.
Cara berpakaian ini dapat ditemukan dalam foto atau lukisan suku cherokee yang diambil gambarnya sebelum tahun 1832. Kepala suku terakhir Cherokee sebelum akhirnya benar-benar punah dari daratan Amerika adalah seorang Muslim bernama Ramadan Ibnu Wati.
Ramadhan Ibnu Wati
Berbicara tentang suku Cherokee, tidak akan lepas dari Sequoyah. Ia adalah orang asli suku cherokee yang berpendidikan dan menghidupkan kembali Syllabary, suku mereka pada 1821. Syllabary adalah semacam aksara. Jika kita sekarang mengenal abjad A sampai Z, maka suku Cherokee memiliki aksara sendiri.
Yang membuatnya sangat luar biasa adalah, aksara yang dihidupkan kembali oleh Sequoyah ini mirip sekali dengan aksara Arab. Bahkan, beberapa tulisan masyarakat cherokee abad ke-7 yang ditemukan terpahat pada bebatuan di Nevada sangat mirip dengan kata ”Muhammad” dalam bahasa Arab.
Bukti dalam sumber-sumber Barat:
1). Profesor Barry Fell (Baca: Biografi Sejarah dari Wikipedia), dari Harvard University dan juga anggota dari American Academy of Science dan Seni, Royal Society, epigrafi Society dan Masyarakat Penemuan Ilmiah dan Purbakala, yakin tentang kedatangan Islam di Amerika pada tahun 650-an, 2 prediksi pendapat ini pada kaligrafi Cufic adalah peradaban yang ditemukan di berbagai penggalian di seluruh Amerika. Jika kata-kata Profesor Fell memiliki nilai kebenaran, maka umat Islam telah tiba di Amerika selama era Khalifah Uthman, atau setidaknya di masa Ali, khalifah keempat.
2). Bukti kedua yang ditawarkan oleh Profesor Fell adalah bahwa tulisan “In the Name of Allah” (gambar 1). Demikian juga, batu bersurat tulisan “Muhammad adalah Nabi Allah” (gambar 2) adalah berkaitan dengan era yang sama. Seperti terlihat dengan perbandingan dua gambar, inskripsi tidak dalam gaya modern Arab, sebaliknya mereka berada dalam gaya Cufic, relevan dengan abad ketujuh.
Gambar 1

Orang-orang Arab, sesuai dengan temuan Profesor Fell, menetap di Nevada selama abad ketujuh dan kedelapan. Keberadaan awal dari sebuah sekolah, yang diajarkan Islam dan ilmu pengetahuan, khususnya navigasi, telah terungkap setelah penyelidikan arkeologi yang dilakukan oleh Profesor Heizer dan Baumhoff of California Universitas sekitar WA 25 di situs Nevada. Penggalian di Nevada telah menemukan tulisan di naskhi Arab dan gaya Cufic yang tertulis di batu yang membawa informasi tentang sekolah ini.
 Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4

3). Pada abad kedua belas, Athapcan Tribe, terdiri dari Apache asli dan Navajos, menyerbu wilayah yang dihuni oleh orang-orang Arab. Pribumi yang buta huruf terpesona dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang-orang Arab, dan, mungkin dengan bantuan tawanan, berusaha meniru subjek yang sama, mengubah bentuk geometris menjadi binatang mitos, yang dilakukan selama berabad-abad.
Gambar-5
4). Gambar 5 adalah tulisan Cufic ditemukan pada tahun 1951 di White Mountains, dekat dengan kota Benton di berdekatan Nevada. Kata-kata Syaitan maha mayan, iaitu Iblis adalah sumber dari segala kebohongan, telah ditulis dalam gaya Cufic khas abad ketujuh.
Gambar 6
5). Sekali lagi, sebuah inskripsi batu milik pasca-650 CE, tertulis huruf Cufic H-M-I-D, kata Hamid (gambar 6). Tulisan Arab lain yang ditemukan di bebatuan Atlata di Valley of Fire di Nevada.
Gambar 7
6). Seorang Penulis Jurnal Amerika, saat bepergian dari Malden ke Cambridge di negara bagian Massachusetts pada tahun 1787, menulis, Pendeta Thaddeus Mason Harris melihat beberapa syiling ditemukan oleh pekerja selama pembangunan jalan. Para pekerja, tidak mempedulikan syiling tersebut. Akibatnya, Harris memutuskan untuk mengirim uang tersebut ke perpustakaan Harvard College untuk pemeriksaan (gambar 7). Penelitian menghasilkan bahawa ini sebenarnya adalah Samarqand Dirham dari abad kedelapan dan kesembilan. Seperti dapat dilihat pada gambar, koin nyata menampilkan prasasti La ilaha illa-Allah Muhammadun Rasulullah (Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul-Nya) dan Bismillah (dengan nama Allah).
Gambar 8
7). Gambar 8 menunjukkan sepotong batu ditemukan di sebuah gua di wilayah Corinto di El Salvador. Batu bertulis inskripsi Malaka Haji Malaya ini telah diidentifikasi sebagai abad ketiga belas yang menunjukkan kedatangan Muslim di Amerika Selatan, yang mungkin datang dari suatu tempat di daerah Indonesia.
Secara umum, suku-suku Indian di Amerika juga percaya adanya Tuhan yang menguasai alam semesta. Tuhan itu tidak teraba oleh panca indera. Mereka juga meyakini, tugas utama manusia yang diciptakan Tuhan adalah untuk memuja dan menyembah-Nya. Seperti penuturan seorang Kepala Suku Ohiyesa: ”In the life of the Indian, there was only inevitable duty-the duty of prayer-the daily recognition of the Unseen and the Eternal.” Bukankah Al-Qur’an juga memberitakan bahawa tujuan penciptaan manusia dan jin semata-mata untuk beribadah pada Allah.
Subhanallah… Bagaimana Ketua suku Indian Cheeroke itu Muslim? Sejarahnya panjang.
PENEMU BENUA AMERIKA PERTAMA ITU ADALAH LAKSAMANA CHENG HO (SEORANG MUSLIM DARI CINA), BUKAN COLOMBUS
RED INDIAN AMERIKA ASALNYA MUSLIM SEBELUM KEHADIRAN C.COLUMBUS-4
Semangat orang-orang Islam dari Cina saat itu untuk mengenal lebih jauh planet (tentunya saat itu nama planet belum terdengar) tempat tinggalnya, selain untuk melebarkan pengaruh, mencari jalur perdagangan baru dan tentu saja memperluas dakwah Islam, mendorong beberapa pemberani di antara mereka untuk melintasi area yang masih dianggap gelap dalam peta-peta mereka saat itu.
Beberapa nama tetap begitu kesohor sampai saat ini bahkan hampir semua orang pernah mendengarnya, sebut saja Tjeng Ho dan Ibnu Batutta, namun beberapa lagi hampir-hampir tidak terdengar dan hanya tercatat pada buku-buku akademis.
Para ahli geografi dan intelektual dari kalangan Muslim yang mencatat perjalanan ke benua Amerika itu adalah Abul-Hassan Ali Ibn Al Hussain Al Masudi (meninggal tahun 957), Al Idrisi (meninggal tahun 1166), Chihab Addin Abul Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) dan Ibn Battuta (meninggal tahun 1369).
Menurut catatan ahli sejarah dan ahli geografi muslim Al Masudi (871 – 957), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad seorang navigator muslim dari Cordoba di Andalusia, telah sampai ke benua Amerika pada tahun 889 Masehi. Dalam bukunya, ‘Muruj Adh-dhahab wa Maadin al-Jawhar’ (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), Al Masudi melaporkan bahwa semasa pemerintahan Khalifah Spanyol Abdullah Ibn Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad berlayar dari Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik, hingga mencapai wilayah yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhoola, dan kemudian kembali dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
Sesudah itu banyak pelayaran yang dilakukan untuk mengunjungi daratan di seberang Lautan Atlantik, yang gelap dan berkabut itu. Al Masudi juga menulis buku ‘Akhbar Az Zaman’ yang memuat bahan-bahan sejarah dari pengembaraan para pedagang ke Afrika dan Asia.
Dr. Youssef Mroueh juga menulis bahwa selama pemerintahan Khalifah Abdul Rahman III (tahun 929-961) dari dinasti Umayyah, tercatat adanya orang-orang Islam dari Afrika yang berlayar juga dari pelabuhan Delba (Palos) di Spanyol ke barat menuju ke lautan lepas yang gelap dan berkabut, Lautan Atlantik. Mereka berhasil kembali dengan membawa barang-barang bernilai yang diperolehnya dari tanah yang asing.
Beliau juga menuliskan menurut catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Spanyol, Hisham II (976-1009), seorang navigator dari Granada bernama Ibn Farrukh tercatat meninggalkan pelabuhan Kadesh pada Februari tahun 999 melintasi Lautan Atlantik dan mendarat di Gando (Kepulaun Canary).
Ibn Farrukh berkunjung kepada Raja Guanariga dan kemudian melanjutkan ke barat hingga melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana. Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada Mei 999.
Perlayaran melintasi Lautan Atlantik dari Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari Tarfay di Maroko pada zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 – 1307), raja keenam dalam dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau Green di Laut Karibia pada tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan perjalanan ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam.
Sultan-sultan dari kerajaan Mali di Afrika barat yang beribukota di Timbuktu, ternyata juga melakukan perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) memerinci eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan keilmuan yang maju di Afrika. Ekspedisi perjalanan darat dan laut banyak dilakukan orang menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan yang tercatat melanglang buana hingga ke benua baru saat itu adalah Sultan Abu Bakari I (1285 – 1312), saudara dari Sultan Mansa Kankan Musa (1312 – 1337), yang telah melakukan dua kali ekspedisi melintas Lautan Atlantik hingga ke Amerika dan bahkan menyusuri sungai Mississippi.
Sequoyah atau yang Dikenal dengan George Gist
Voyages_of_Zheng_He_1405-33
Sultan Abu Bakari I melakukan eksplorasi di Amerika tengah dan utara dengan menyusuri sungai Mississippi antara tahun 1309-1312. Para eksplorer ini berbahasa Arab. Dua abad kemudian, penemuan benua Amerika diabadikan dalam peta berwarna Piri Re’isi yang dibuat tahun 1513, dan dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I tahun 1517. Peta ini menunjukkan belahan bumi bagian barat, Amerika selatan dan bahkan benua Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil secara cukup akurat.
Dua abad kemudian, penemuan benua Amerika diabadikan di dalam peta berwarna Piri Re’isi yang dibuat pada tahun 1513, dan dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I tahun 1517. Peta ini menunjukkan letak belahan bumi bagian barat, Amerika Selatan dan bahkan benua Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil secara cukup akurat.
Columbus sendiri mengetahui bahwa orang-orang Carib (Karibia) adalah pengikut Nabi Muhammad. Dia paham bahwa orang-orang Islam telah berada di sana, terutama orang-orang dari Pantai Barat Afrika. Mereka mendiami Karibia, Amerika Utara dan Selatan. Namun tidak seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak rakyat Amerika, orang-Orang Islam datang untuk berdagang dan bahkan menikahi orang-orang pribumi.
Sultan Abdul Hamid II Ottoman
Lebih lanjut Columbus mengakui pada 21 Oktober 1492, 70 tahun dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba melihat sebuah masjid (berdiri di atas bukit dengan indahnya menurut sumber tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa reruntuhan masjid telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Namun, tidak seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak, bahkan membantai rakyat Amerika asli (baca: Kebohongan Amerika tentang Christopher Columbus), Orang-Orang Islam datang untuk berdagang dan bahkan beberapa di antaranya menikahi orang-orang pribumi.
Dan tahukah Anda? Bahwa 2 orang nahkoda kapal yang dipimpin oleh Columbus, kapten kapal Pinta dan Nina adalah orang-orang Islam, yaitu dua bersaudara Martin Alonso Pinzon dan Vicente Yanex Pinzon yang masih keluarga dari Sultan Maroko Abuzayan Muhammad III (1362). (THACHER, JOHN BOYD: Christopher Columbus, New York 1950).
Banishing the Indians
piri reis map
Sekitar 70 tahun sebelum Columbus menancapkan benderanya di tanah Amerika, Laksamana Cheng Ho sudah terlebih dahulu datang ke sana. Para peserta seminar yang diutus oleh Royal Geographical Society di London sangat kaget karena penemuan seorang kru kapal selam dan uraian sejarawan bernama Gavin Menzies. Dia juga seorang mantan perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris (baca: Biography Gavin Menzies).
Menzies yang tampil dengan penuh keyakinan, menjelaskan teorinya tentang pelayaran terkenal dari pelaut mashur asal Cina, Laksamana Cheng Ho. Bersama bukti-bukti yang ditemuinya dari catatan sejarah, dia lantas membuat kesimpulan bahawa pelaut serta pengembara ulung dari Dinasti Ming itu adalah penemu awal benua Amerika, dan bukannya Columbus.
Bahkan menurutnya, Cheng Ho ‘mengalahkan’ Columbus dengan jarak (perbedaan) waktu sekitar 70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat semua orang tertipu karena masyarakat dunia selama ini mengetahui bahawa Columbus-lah penemu benua Amerika pada sekitar abad ke-15. Penjelasan Menzies ini dikuatkan dengan sejumlah bukti sejarah.
Perbandingan kapal layar Colombus dengan Laksamana Cheng Ho
Menzies menunjukkan sebuah peta sebelum Columbus memulai ekspedisinya, lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi milik Cheng Ho yang disandarkan sebagai bahan bukti. Menzies sangat yakin setelah ia meneliti ketepatan dan kesahihan bahan-bahan bersejarah tersebut.
TAK MUSTAHIL, TAMADUN-TAMADUN HEBAT AZTEC , MACHU PICHU DAN PUMAPUNGKU DIBENUA LATIN JUGA SUDAH MENGENALI ISLAM SEBELUM KEHADIRAN “PENYANGAK2” EROPAH YANG MELENYAPKAN MEREKA UNTUK MERUBAH SEJARAH

Selasa, 29 Ogos 2017

Ada apa pada hari Kebangsaan tahun ini (31 Ogos 2017)?

Sebaik-baik do’a adalah do’a hari Arafah -9 Dzulhijjah-. Maksudnya, do’a ini 
paling cepat diijabahi. Sehingga kita diperintahkan untuk konsen melakukan 
ibadah yang satu ini di pada hari Arafah, apalagi untuk orang yang sedang wukuf 
di Arafah.

Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah
hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan 
mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan 
oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348).
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda,
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah.” (HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh
 Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Maksudnya, inilah doa yang paling 
cepat dipenuhi atau terkabulkan (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10: 33).
Apakah keutamaan do’a ini hanya khusus bagi yang wukuf di Arafah? Apakah 
berlaku juga keutamaan ini bagi orang yang tidak menunaikan ibadah haji?
Yang tepat, mustajabnya do’a tersebut adalah umum, baik bagi yang berhaji 
maupun yang tidak berhaji karena keutamaan yang ada adalah keutamaan pada hari. 
Sedangkan yang berada di Arafah (yang sedang wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah), 
ia berarti menggabungkan antara keutamaan waktu dan tempat. Demikian kata 
Syaikh Sholih Al Munajjid dalam fatawanya no. 70282.
Tanda bahwasanya do’a pada hari Arafah karena dilihat dari kemuliaan hari tersebut 
dapat kita lihat dari sebagian salaf yang membolehkan ta’rif. Ta’rif adalah berkumpul 
di masjid untuk berdo’a dan dzikir pada hari Arafah. Yang melakukan seperti ini adalah
sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhumaImam Ahmad masih membolehkannya 
walau beliau sendiri tidak melakukannya.
Syaikh Sholih Al Munajjid -semoga Allah berkahi umur beliau- menerangkan, “Hal ini 
menunjukkan bahwa mereka menilai keutamaan hari Arafah tidaklah khusus bagi 
orang yang berhaji saja. Walau memang berkumpul-kumpul seperti ini untuk dzikir dan 
do’a pada hari Arafah tidaklah pernah ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Oleh karena itu Imam Ahmad tidak melakukannya. Namun beliau beri keringanan dan 
tidak melarang karena ada sebagian sahabat yang melakukannya seperti Ibnu ‘Abbas 
dan ‘Amr bin Harits radhiyallahu ‘anhum.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70282)
Para salaf dahulu saling memperingatkan pada hari Arafah untuk sibuk dengan ibadah 
dan memperbanyak do’a serta tidak banyak bergaul dengan manusia. ‘Atho’ bin Abi Robbah 
mengatakan pada ‘Umar bin Al Warod,  “Jika engkau mampu mengasingkan diri di siang
hari Arafah, maka lakukanlah.” (Ahwalus Salaf fil Hajj, hal. 44)
Do’a ini bagi yang wukuf dimulai dari siang hari selepas matahari tergelincir ke barat 
(masuk shalat Zhuhur) hingga terbenamnya matahari.
Semoga Allah memudahkan kita untuk menyibukkan diri dengan do’a pada hari Arafah.





Isnin, 9 Januari 2017

Menamatkan Pendidikan Kiasu

Entahlah dunia apa yang kita hidup di dalamnya hari ini.

Setelah anak nekad terjun membunuh diri, si ibu berkata beliau hanya berharap anaknya mendapat markah 70, bukannya 80! Apabila markah peperiksaan menjadi currency dalam mendidik anak-anak, ibu bapa dan guru bukan penyiram air dan baja kepada impian, harapan, potensi dan kehidupan anak-anak, tetapi sebagai pembunuh.

Kisah di Singapura baru-baru ini bukan kisah baru.
Kami di kelas berbual mengenainya.
Rakan saya daripada Shandong Province di  China juga bercerita tentang hal yang sama. Katanya mengenai kegilaan National College Examination yang beliau lalui, pelajar menjadi gila dan ada yang membunuh diri. Markah penuh untuk peperiksaan berkenaan adalah 750. Pada tahun berkenaan, mereka perlu memperolehi markah sekurang-kurangnya 595 untuk mendapat tempat di universiti, manakala di province lain, markah yang diperlukan rendah sedikit sekitar 400. Ia ada kaitan dengan diskriminasi dan sikap kerajaan China yang tidak pernah jemu menekan minoriti Uygur di wilayah berkenaan. Di dalam kelas rakan saya ini katanya ada 70 pelajar. Kesemua mereka tidak berehat pada waktu berehat, terus mengulangkaji dan menyiapkan diri untuk peperiksaan berkenaan dalam timbunan buku dan kertas-kertas peperiksaan contoh dan tahun lepas. Dan akhirnya, daripada 70 orang itu hanya 6 orang sahaja yang layak dan mendapat tempat. Mereka yang gagal perlu mengulang, atau mengalah dan masuk ke kolej vokasional yang tiada pelajaran sistematik untuknya, atau jika mereka daripada keluarga berada, mereka mengambil TOEFL atau IELTS dan menyambung pelajaran ke luar negara, terutamanya di Amerika Utara dan Australia.
Teringat saya kepada tragedi yang menimpa negara kita dalam beberapa kes yang semakin dilupakan. Subashini hari ini sepatutnya sudah berusia 19 tahun. Mungkin sudah semakin jelas kelebihan dirinya di dalam bidang, atau kerja yang bagaimana. Tetapi dia pergi dahulu. Tekanan UPSR sudah cukup untuk menyebabkan Subashini menamatkan penderitaannya dengan sebuah tragedi. Malapetaka yang pergi dibawa angin dan masa.
Pemansuhan UPSR tidak berlaku.
Malah bebanannya ditambah lagi daripada apa yang sedia ada. Pelbagai hujah diberikan terhadap perubahan demi perubahan, yang hakikatnya masih seperti “the child on the rocking horse”.
Artikel saya pada tahun 2010 berikut, saya paparkan kembali untuk muhasabah kita bersama:

MENAMATKAN PENDIDIKAN KIASU

Seawal 2006, saya sudah menangkap hasrat Kementerian Pelajaran Malaysia untuk merombak sistem pendidikan negara yang terlalu berorientasikan peperiksaan.
Dato’ Seri Hishammuddin Tun Hussein selaku Menteri Pelajaran ketika itu pernah membuat kenyataan betapa sistem pendidikan semasa yang berorientasikan peperiksaan menjadi satu bebanan ke atas guru dan murid. Justeru satu bentuk pendekatan baru di dalam sistem pendidikan mahu diperkenalkan.
Saya mengalu-alu saranan ini.
‘KIASUISM’
Obsesi semua pihak terhadap ukuran kecemerlangan murid berdasarkan pencapaian bilangan A di dalam peperiksaan semakin menjadi-jadi.
Jika dahulunya budaya kiasu sering membawa kita kepada membayangkan negara jiran, Singapura, kini sikap all-must-win itu sudah semakin membarah di Malaysia hingga ia tidak lagi ditonjolkan pada kegilaan menghimpun tertinggi, terpanjang, terbesar dan terhebat di mercu tanda negara, malah turut mengisi seluruh spektrum kehidupan. ‘Segala-galanya bersifat enjit enjit semut siapa sakit naik atas’!
Seawal usia pra sekolah, murid-murid sudah diheret ke budaya ‘saya masuk kelas A sebab ada yang masuk kelas B’.
Murid yang beroleh keseluruhan A akan disanjung oleh semua peringkat masyarakat dan media. Pelbagai anugerah diberikan dan jumlah mereka menyumbang kepada statistik kebanggaan sekolah, kemudian daerah dan akhirnya negeri ke peringkat kebangsaan. Sedangkan segala liputan terhadap kelompok ‘cemerlang ini’ hakikatnya adalah laporan berkenaan kelompok minoriti kecil berbanding kelompok majoriti dengan pencapaian sederhana yang terus dipinggirkan.
Sekurang-kurangnya dua tragedi besar sudah terpampang di hadapan mata kita kesan daripada obsesi terhadap peperiksaan ini.
TEKANAN PSIKOLOGI MELAMPAU

NIBONG TEBAL, 18 Nov. -- S. Subashini,12, pelajar Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Tamil (SRJKT) Ladang Sempah dipercayai membunuh diri dengan menggantungkan diri menggunakan kain selimut akibat kecewa kerana memperolehi pangkat D dalam matapelajaran Pemahaman (Bahasa Malaysia) Ujian Penilaian Sekolah Rendah (UPSR) baru-baru ini. Subashini ditemui tergantung di jeriji tingkap bilik tidur oleh kakaknya. Subashini memperolehi 4 B, 2 C dan 1 D dalam UPSR 2007 yang diumumkan baru-baru ini. -- fotoBERNAMA HAKCIPTA TERPELIHARA
NIBONG TEBAL, 18 Nov. — S. Subashini,12, pelajar Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Tamil (SRJKT) Ladang Sempah dipercayai membunuh diri dengan menggantungkan diri menggunakan kain selimut akibat kecewa kerana memperolehi pangkat D dalam matapelajaran Pemahaman (Bahasa Malaysia) Ujian Penilaian Sekolah Rendah (UPSR) baru-baru ini.
Subashini ditemui tergantung di jeriji tingkap bilik tidur oleh kakaknya.
Subashini memperolehi 4 B, 2 C dan 1 D dalam UPSR 2007 yang diumumkan baru-baru ini.
— fotoBERNAMA HAKCIPTA TERPELIHARA

Lupakah kita kepada berita terburuk sepanjang 2007 apabila S. Subashini, 12, dari Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Tamil Ladang Sempah ditemui mati, membunuh diri kerana gagal mendapat A dalam kesemua peperiksaan UPSR yang lalu.
Sejauh mana isu ini diperbahaskan? Sejauh mana kematian S. Subashini dibedah siasat puncanya? Atau ia hanya sekadar satu isu yang datang dan pergi? Tidakkah gila masyarakat kita hari ini, boleh melupakan kematian seorang anak muda seusia 12 tahun yang mati kerana kurang cemerlang dalam UPSR? Saya yakin jika insiden ini berlaku di negara maju lain, ia sudah cukup untuk menggoncang seluruh sistem negara.
Tekanan psikologi yang dikenakan ke atas murid-murid sebagai ‘kuda pertaruhan’ amat membimbangkan. Apatah lagi, tidak semua pelajar boleh cemerlang dalam orientasi hafalan dan muntahan fakta ke kertas peperiksaan. Ramai juga yang datang daripada kategori hands-on. Mereka mahir di dalam pelbagai bidang kemahiran membabitkan seni, teknikal, vokasional dan lain-lain, namun dipandang rendah kerana tidak berjaya diukur dan pembaris tunggal yang mengukur kualiti manusia di dalam sistem pendidikan kita.
GENERASI ROBOTIK
Kesan kedua yang timbul adalah pada kualiti tenaga manusia yang dihasilkan.
Kesan ini sukar dinilai semasa murid-murid berada di bangku pengajian kerana mereka masih berada di dalam sistem itu dan menjadi sebahagian daripadanya.
Tetapi, selepas menjadi graduan kepada sistem itu, bagaimanakah kualiti mahasiswa dan mahasiswi kita di peringkat pengajian universiti hari ini? Bagaimanakah pengalaman para pensyarah semasa mengendalikan murid-murid ‘cemerlang dengan A’ ini? Malah bagaimanakah statistik pelajar universiti yang terpaksa mengulang tahun atau kecundang di dalam pengajian, biar pun mereka itu adalah cream of the cream semasa di peringkat SPM?
Tidak dilupakan, keluhan demi keluhan pihak Sumber Manusia (HR) di dalam industri.
Bagaimanakah kualiti kemanusiaan warga kerja generasi muda kebelakangan ini?
Mereka mungkin mampu memiliki ijazah dengan CGPA 4.0 tetapi tidak terfikir bahawa untuk menghulurkan pisau kepada orang lain, yang patut diajukan adalah hulu pisau dan bukan matanya.
Common sense?
Logical thinking?
Segalanya semakin membarah.
Sistem pendidikan dan peperiksaan berkomputer kita benar-benar menghasilkan computerised-being. Generasi robot!
MAJLIS PERBINCANGAN MEJA BULAT PEMANSUHAN UPSR & PMR
Justeru saya amat mengalu-alukan hasrat Kementerian Pelajaran Malaysia untuk menilai kembali peranan UPSR dan PMR dalam sistem penaksiran pelajar di negara kita.
Majlis Perbincangan Meja Bulat Pemansuhan UPSR dan PMR telah berlangsung di Putra Jaya pada 27 Julai 2010 yang lalu telah menghimpunkan ramai tokoh pendidikan, ahli politik, ahli akademik IPTA dan IPTS serta NGO. Laporan awal menyatakan majoriti mereka yang hadir ke Majlis Perbincangan Meja Bulat itu mahu UPSR dan PMR dikekalkan tetapi dengan penambah baikan.
“Bagaimanapun, kebanyakan mereka yang hadir mahu UPSR dan PMR dikekalkan, tetapi kerajaan memperbaiki segala kelemahan termasuk meningkatkan kualiti guru,” kata Ketua Pengarah Pelajaran, Tan Sri Alimuddin Md Dom, selepas mempengerusikan Majlis Perbincangan Meja Bulat Kementerian Pelajaran.
Saya juga bersetuju dengan persoalan yang ditimbulkan oleh Setiausaha Kehormat, Persekutuan Persatuan Lembaga Pengurus Sekolah China Malaysia, Poh Chin Chuan yang mahu Kementerian Pelajaran mengumumkan formula alternatif jika mahu memansuhkan UPSR. Sebarang perubahan mestilah berasaskan kepada kajian yang menyeluruh dan tidak bersifat adhocism. Perubahan mesti bersifat holistik dan bukan gunting sana dan tampal sini.
Mangsanya adalah anak-anak kita dan masa depan negara.
Biar apa pun keputusan yang bakal diputuskan nanti, saya mengharapkan agar sistem pendidikan negara kita kembali bersifat STUDENT CENTRIC dan bukannya SCHOOL CENTRIC apatah lagi PPD CENTRIC!
Bakul sampahkanlah segala yang berkaitan dengan reputasi dan kemasyhuran sekolah, rekod perkhidmatan cemerlang pegawai pendidikan atau apa sahaja yang menyebabkan murid-murid itu sendiri bukan lagi satu keutamaan.
Apakah boleh dikategorikan sebagai salah laku yang serius apabila murid yang kurang cemerlang diarahkan oleh pihak sekolah mendaftar sebagai pelajar persendirian demi menjaga peratusan kecemerlangan keputusan peperiksaan? Kepada siapa salah laku ini patut diadukan?
Menyembah peperiksaan…. demikianlah perumpamaannya.
Atau mungkin kata kuncinya, hentikan campur tangan politik dan ‘pasaran semasa’ terhadap pendidikan negara.
Sekolah bukan gelanggang lumba kuda.
Ia tempat memanusiakan manusia.
ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 AMPANG

Dinukil dari tulisan asal saifulislam

TUMBANGNYA KEIBUBAPAAN (THE COLLAPSE OF PARENTING)

Bagi kita yang mengimani Akhirat, kita tidak pasti bagaimana bentuk soalan yang akan Allah tanya kepada ahli politik, ahli ekonomi, termasuk guru-guru di sekolah. Tetapi kita pasti Allah tidak akan melepaskan kita daripada tanggungjawab sebagai ibu dan bapa. Tanggungjawab itu pula bukan bermaksud untuk kita melepaskan diri. Sebaliknya Allah menjadikan tanggungjawab itu sebagai ramuan terbaik memanusiakan seorang manusia mengikut acuan-Nya.
Sebelum guru tadika, sebelum guru sekolah rendah, sebelum guru sekolah menengah dan sebelum pensyarah universiti, guru pertama ke atas setiap anak adalah kita, ibu bapa.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه كمثل البهيمة تنتج البهيمة هل ترى فيها جدعاء
Maksudnya: “Tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah lalu ibu bapanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani (Kristian) atau Majusi. Sebagaimana seekor haiwan ternakan melahirkan anaknya yang sempurna sifat, adakah kamu rasa akan ada yang akan mejadi cacat dengan sendirinya?!” [al-Bukhari & Muslim].
Di usia 40’an, saya berasa lebih lapang untuk mengimbas keibubapaan yang saya lakukan dan yang tidak saya lakukan. Kita tidak punya apa-apa kepentingan, selain mengharapkan yang terbaik untuk anak-anak, dan memohon keampunan Allah atas kelemahan dan kekurangan selama ini.
Apabila saya menghantar anak ke sekolah, saya tahu apa yang sekolah perlu buat dan apa yang kami sebagai ibu bapa perlu buat. Saya tahu apa yang saya telah buat, dan apa yang saya tidak buat. Saya sama sekali tidak mengharapkan keajaiban sekolah untuk menghasilkan apa yang hanya boleh terhasil daripada apa yang saya sepatutnya buat.
Sebelum sistem pendidikan gering, saya berpandangan keibubapaan telah terlebih dahulu gering dengan kegeringan yang lebih lama dan mendalam. Dalam kitaran supply and demand, ibu bapa mempunyai peranan yang besar dalam mencorakkan pendidikan yang diterima oleh anak-anak. Kita ada banyak salah tanggap dengan meletakkan cukai yang dibayar menjadikan kerajaan patut bertanggungjawab, yuran sekolah swasta yang dibayar menjadikan sekolah patut bertanggungjawab, sedangkan semua itu tidak dapat menebus kegagalan ibu bapa yang terlebih dahulu, melahirkan manusia yang bagaimana daripada sebuah institusi keluarga.




the collapse of parenting
The Collapse of Parenting: How We Hurt Our Kids When We Treat Them Like Grown-Ups

Leonard Sax, di dalam bukunya The Collapse of Parenting: How We Hurt Our Kids When We Treat Them Like Grown-Ups, bertanya soalan berikut:
Manakah di antara perkara berikut, yang sepatutnya diukur ketika seorang anak berusia 11 tahun, sebagai ukuran terbaik tentang kebahagiannya dan hidup dengan kepuasan sehingga sekitar 20 tahun kemudian, apabila si anak menjadi seorang dewasa di usia 31 atau 32 tahun?
  1. IQ
  2. Purata markah peperiksaan
  3. Keupayaan menguasai diri (self-control)
  4. Keterbukaan terhadap idea baru
  5. Mesra berkawan
Jawapannya ialah “3” iaitu keupayaan menguasai diri.
Sejauh mana seorang anak pada usia 11 tahun mampu mengawal dirinya, datang daripada ramuan keibubapaan yang baik. Fikirannya sihat, emosinya baik, dan beliau berada di dalam keadaan yang berkesedaran baik tentang free will serta consequences daripadanya. Leonard Sax menggariskan tiga perkara yang perlu disemai oleh ibu bapa kepada anak-anak iaitu:
  1. Didik mereka dengan sifat malu dan memelihara maruah diri
  2. Gembira
  3. Memberi makna kepada kehidupan
Kesemua hal ini memerlukan ibu bapa itu sendiri sihat akal fikirannya, luhur jiwanya dalam mendidik anak-anak, dan tidak berpura-pura terhadap apa yang disemai pada memikirkan apa yang hendak dituai. Berbualkah dengan anak-anak? Ada peluk mereka? Jika mereka salah, kita buat apa? Bahasa bagaimana yang kita pakai dalam berkomunikasi dengan mereka? Sayang mereka? Mereka percayakah yang kita sayangkan mereka?
Anak arnab berhenti menyusu pada usia 2 bulan atau lebih awal. 6 bulan kemudian, arnab sudah matang dari segi seksualiti dan bersedia untuk bunting dan melahirkan arnab. Purata usia arnab adalah 4 tahun. Usia kanak-kanak seekor arnab tidak sampai 1/10 daripada keseluruhan hidup mereka.
Kuda pula berhenti menyusu pada sekitar usia 6 bulan. Kematangan seksual kuda adalah sekitar usia 18 bulan. Zaman kanak-kanak seekor kuda hanya sekitar 12 bulan. Namun kuda pada usia 18 bulan belum mencapai usia dewasa. Seekor kuda dianggap telah dewasa sepenuhnya pada usia 4 tahun  dari perspektif ahli biologi dan veterinar. Antara umur kematangan seksual 18 bulan dan dewasa sepenuhnya seekor kuda pada umur 4 tahun, ertinya kuda menempuh usia remaja atau adolescence selama 2 tahun setengah.
Berbeza dengan manusia.
Seorang bayi manusia boleh berpisah dari susu badan pada usia setahun malah lebih awal. Usia menarche bagi kanak-kanak perempuan boleh mengandung adalah sekitar 12 tahun. Kanak-kanak lelaki mencapai kematangan seksual pada usia 13 tahun. Maka usia kanak-kanak bagi perempuan hari ini ialah sekitar 11 tahun, dan lelaki 12 tahun. Manakala usia remaja pula adalah bermula daripada usia seksual berfungsi penuh hingga ke usia menjadi dewasa, terutamanya jika dirujuk kepada perkembangan otak. Ia menjadikan usia dewasa perempuan ialah 22 tahun manakala lelaki 25 tahun. Jika ini dikira sebagai usia dewasa, maka seorang perempuan adalah remaja selama kira-kira 10 tahun, dan lelaki 12 tahun.
Mengapa usia kanak-kanak, remaja dan mencapai matang manusia jauh lebih panjang?
Leonard Sax menjawab, ia adalah mengenai BUDAYA.
Sesuatu yang unik bagi manusia. Budaya dalam erti kata  perilaku dan kebiasaan yang membentuk karakter setiap individu di dalam satu komuniti, namun tidak pada individu di dalam komuniti yang lain. Lain padang lain belalang. Proses mengajar dan belajar budaya ini adalah apa yang menjadi keutamaan di dalam pendidikan pada suatu ketika. Keutamaan di zaman tinggi pendidikan, tinggilah adab dan budaya seseorang itu. Tetapi sedikit demi sedikit, keutamaan kepada memupuk budaya, adab sopan, tatasusila, cara yang mulia dalam berinteraksi dengan orang lain, bahasa apa yang hendak dipakai, kesemuanya merosot, apabila pengukuran bagus atau tidak bagusnya seseorang adalah pada hal-hal lain yang telah disenaraikan di atas.
Pada usia kanak-kanak dan remaja ini, apakah yang dipupuk oleh ibu bapa?
Saya sendiri menempuh pengalaman yang rumit apabila memikirkan tentang memupuk budaya yang baik kepada anak-anak.
Di sebuah tadika, anak saya mengutip perkataan-perkataan yang tidak dipakai di rumah. Biar pun ia tadika Islam, murid-muridnya datang daripada latar belakang yang pelbagai. Konsentrasi sekolah kepada ‘silibus’ biar pun ‘silibus agama’, tidak dapat dilihat membantu mengikis perbendaharaan kata yang tidak manis di kalangan murid-muridnya. Anak saya suka dengan lawak jenaka yang membabitkan ludah, hingus, jelir lidah, tahi, punggung, bogel, dan yang seumpama dengannya.
Menyedari akan hal ini, kami mengambil masa yang lama untuk mencabut perkataan itu daripadanya dan menggantikannya dengan yang lebih baik. Lama itu, bukan lima bulan atau setahun, tetapi sehingga sekarang. Bertahun-tahun. Anak-anak perlu dipupuk rasa hormat kepada aurat, rasa keji terhadap kotoran, rasa malu terhadap perlanggaran. Semua ini penting supaya nanti anak tidak menjadi remaja yang mencarut dengan menggunakan kemaluan, aktiviti seksual, kerana semua itu dikontekskan semula dengan betul dalam satu tatakelola diri yang duduk dalam budaya, dan AGAMA.
Anak-anak sekarang mencarut dengan perkataan F***, dalam keadaan dia tidak menghayati apa sebenarnya perkataan itu. Mereka kutip ia daripada filem, lagu, dan kawan-kawan. Sebagai bapa, saya kuatkan hati untuk bercakap mengenai hal ini agar ia tidak menjadi vocab anak-anak saya. F*** itu perlu dikontekskan kembali sebagai fitrah manusia, ibadah, rasa malu yang sangat tinggi, perlakuan halal antara suami dan isteri melalui perkahwinan, haram antara lelaki dan perempuan tanpa perkahwinan, sehingga anak-anak sedar beban yang dipikul oleh perkataan tersebut.
Di rumah, anak-anak mengejekkah sesama mereka? Jika ya, sejauh mana kita sebagai ibu bapa komited membetulkannya? Dan membetulkannya, kita guna bahasa marah-marah, berleter atau mendidik?
Ibu bapa berotoriti melakukannya. Sekurang-kurangnya dalam budaya kita. Kita tidak mengalami masalah kekeliruan peranan (role confusion atau statusunsicherheit) sebagaimana yang kebanyakan masyarakat ‘Barat’ alami. Ibu bapa ada kuasa itu dan mereka mesti memainkannya.
Kuasa ibu bapa bukan bermaksud kuasa untuk mendisiplinkan anak-anak. Kuasa ibu bapa di sini lebih berkait dengan skala NILAI. Kuasa ibu bapa yang tinggi menjadikan ibu bapa lebih penting berbanding kawan-kawan. Dalam komuniti remaja kontemporari semasa ini, kawan-kawan lebih penting berbanding ibu bapa. Apabila kawan-kawan lebih berpengaruh berbanding ibu bapa, budaya yang menular masuk adalah BUDAYA BIADAB. Biadab ini bukan sekadar biadab terhadap ibu bapa dan mereka yang lebih tua, malah mereka biadab semasa mereka. Tiada hormat sesama mereka. Dan ia diserlahkan melalui vocabulary, ejek mengejek, gelar menggelar, buli membuli, kerana tiada rasa hormat sesama mereka.




The Culture of Disrespect
The Culture of Disrespect

Kuasa ibu bapa, tidak semestinya diserlahkan melalui pendisiplinan secara kekerasan. Tetapi apa yang lebih utama adalah hubungan ibu bapa dan anak terus utama dan relevan, bukan sahaja di zaman kanak-kanak, tetapi sepanjang menempuh keremajaan anak-anak kita.
Tanda-tanda kiamat bukan murid biadab kepada guru. Itu hanya simptom.
Tanda kiamat yang disebutkan oleh Nabi sallallāhu ‘alayhi wa sallam ialah apabila seorang ibu melahirkan anak yang menjadi tuan ke atas ibu tersebut.
Runtuhnya sebuah keibubapaan.